Kebun jeruk
Rumah kaca seluas 600 m2 di kota Minamata, Prefektur Kumamoto, Jepang, itu menakjubkan. Sebanyak 40 pohon jeruk berjarak tanam 3 m x 3 m sarat buah. Shouici Yasuda, sang pemilik, sampai harus mengikat ranting tanaman anggota famili Rutaceae itu dengan tali ke besi yang melintang di atasnya agar tak patah.Di lahan seluas 0,5 hektar Yasuda membangun 4 rumah kaca, dengan luasan sama. Tak seperti pekebun lain yang menanam atau satu jenis tanaman. Yasuda justru menerapkan sistem kebun campuran, yaitu satu rumah kaca berisi beragam jenis tanaman. Di salah satu rumah kaca setinggi 3,5 m ia tanam 5 jenis jeruk: summer sweet orange, lemon, sweet spring orange, citrus, dan dekopon.
Rp80.000 per buah
Saat ini dekopon merupakan jeruk termahal di Jepang dengan harga 800 yen setara Rp80.000 per buah. Maklum, dekopon satu-satunya jeruk yang dipanen saat musim semi. Dekopon berbuah pada Februari saat musim jeruk di Jepang telah usai. Bentuk buah dekopon unik, pangkal buah menggembung mirip pir. Wajar bila dekopon menjadi jeruk primadona Yasuda.
Dekopon merupakan hasil silangan antara kiyomi dan ponkan. Nama jeruk itu berasal dari gabungan kata deko-berarti cembung-dan pon dari kata ponkan, salah satu induknya. Buah dekopon manis dan tanpa biji. Warna dan ukuran buah sama dengan ponkan, bobot bisa mencapai 340 gram per buah.
Di Jepang dekopon termasuk jenis baru. Itu tampak dari belum banyak pekebun yang membudidayakannya. Yasuda menanam dekopon sejak 5 tahun silam dan sudah menikmati hasil panen 2 kali. Produktivitas dekopon 15–25 kg/pohon
Organik
Yasuda menanam jeruk dengan sistem pertanian organik. Bagi petani di Minamata, bertani secara organik adalah pilihan untuk mengenang tragedi Minamata, 50 tahun silam. “Bagaimana mungkin kami mengecam pencemaran kimia yang memakan banyak korban tapi tetap memproduksi bahan makanan menggunakan kimia,” tutur pria yang 12 tahun silam pernah mendampingi petani di Kenya itu.
Minamata adalah daerah penting dalam sejarah pencemaran bahan kimia yang memakan ribuan korban. Pada 1958 ratusan penduduk Minamata tewas akibat penyakit dengan gejala kelumpuhan saraf. Diduga mereka keracunan logam berat dari ikan hasil tangkapan di Teluk Minamata. Tak heran bila saat ini para petani, termasuk Yasuda, di desa kecil yang menghadap ke Laut Shiranui, bagian selatan Jepang, itu bertekad tidak akan menggunakan bahan-bahan kimia di lahan pertaniannya.
Yasuda memberikan pupuk organik campuran 3 karung pupuk kandang, 1 karung dedak, 1 karung tanah, 1 karung sekam, dan 1 kg mikroorganisme lokal saat dekopon berbunga pada Mei. Dosisnya, seperempat karung pupuk per tanaman. Tujuannya sebagai sumber tenaga bagi tanaman agar bunga menjadi buah. Campuran pupuk itu sudah melalui fermentasi selama seminggu. Pemupukan dengan dosis sama, diulang setelah panen untuk memulihkan tenaga yang dipakai saat tanaman berbuah.
Yasuda melakukan pemangkasan setiap setahun sekali agar pohon jeruk tidak terlalu rimbun. Dengan begitu seluruh bagian tanaman hingga tanah di bawahnya tetap mendapatkan sinar matahari. Paparan sinar mentari yang cukup membut tanaman berfotosintesis secara optimal.
Kalkun
Yasuda memilih membudidaya jeruk di dalam greenhouse supaya bisa menekan risiko serangan hama. Di dalam ruang tertutup hama lebih terkendali. Bila ada serangan hama seperti ulat dan serangga, Yasuda mengambil hama itu satu per satu langsung dengan tangannya.
Sementara untuk membersihkan gulma Yasuda menerapkan teknik tua di dunia pertanian Jepang, yaitu memadukan tanaman budidaya dan hewan ternak. Shimpei Murakami, petani di Desa Iitate, Prefektur Fukushima misalnya, memanfaatkan bebek untuk mengendalikan gulma di sawah. Sementara Masanobu, petani di Prefektur Ehime, menggunakan ayam lokal Shikoku Selatan. Ayam itu punya kebiasaan memakan ulat dan serangga di tanaman sayuran tanpa mengais perakaran atau merusak tanaman.
Yasuda tidak memilih bebek seperti Murakami atau ayam lokal yang dimanfaatkan Masanobu, karena karakternya tidak cocok untuk tanaman keras seperti jeruk. Ia menggunakan kalkun. Pilihannya jatuh pada hewan yang dalam bahasa jepang disebut shichimencho itu setelah Yasuda mengetahui kalkun tergolong pemakan segala dan sangat rakus memakan rumput, terutama rumput muda yang masih lembut. “Rumput yang tumbuh di sepanjang musim semi hingga musim panas menjadi pakan kegemaran kalkun,” katanya.
Lagipula, kalkun pemburu serangga yang baik. Unggas itu memakan hampir semua jenis serangga, seperti kupu-kupu, kumbang, bahkan semut. Dengan kehadiran kalkun kebun jeruk Yasuda tak pernah mengalami gangguan serius akibat serangan hama dan penyakit tanaman. Gulma yang menjadi tanaman inang maupun serangga pembawa penyakit tak sempat berkembangbiak.
Menurut Yukiko Oyanagi, staf pengajar di Asian Rural Institute (ARI) di Jepang, selain efektif mengendalikan hama kalkun juga memberi nilai tambah ekonomis. Di Jepang, harga daging kalkun mencapai 100 yen setara Rp10.000 per 100 gram. Total jenderal Yasuda memelihara 15 kalkun dewasa sebagai penghalau hama dan pembersih gulma di lahannya seluas 0,5 ha.
Jika bobot seekor kalkun sekitar 7 kg, Yasuda memperoleh 7.000 yen setara Rp700.000 per ekor. Yasuda mempertahankan jumlah kalkun dewasa sebagai perawat kebun. Setiap kali bertelur, ia menetaskan sebagian sebagai calon pengganti. Sebagian lagi dijual dalam bentuk anakan. Akhirnya Yasuda menuai pendapatan ganda, dari jeruk yang sarat buah dan kalkun. (Syamsul Asinar Radjam, praktikus pertanian di Sukabumi dan alumnus Asian Rural Institute di Jepang)
Keterangan Foto :
Jeruk dekopon asal Jepang bentuknya unik, manis dan tanpa biji
Produktivitas per pohon 15-25 kg
Shouici Yasuda, kebunkan jeruk secara organik
Jeruk dekopon, dibanderol Rp80.000 per Buah
Kalkun sebagai pemberantas hama di kebun organik